PRASASTI LAWADAN

Kado Istimewa buat
“Hari Jadi Daerah Tulungagung”
18 Nopember 2016

MAKNA EKO-KUTURAL PRASASTI LAWADAN
DALAM KONTEKS PERMUKIMAN KAWASAN RAWA
PURBA DI SUB-AREA SELATAN TULUNGAGUNG

01

Oleh: M. Dwi Cahyono

A. P e n g a n t a r

Meski riil terlambat, namun terdapat kalimat penyenang bahwa ‘tiada kata terlambat untuk kebaikan’. Pameo demikian berlaku untuk Prasasti Lawadan (1205 Masehi), yang sejak tahun 2002 ditetapkan sebagai ‘Petanda Hari Jadi Daerah Tulungagung’ – bukan hari jadi Pemerintahan Kaboepaten (Regent). Semestinya, sosialisasi terhadapnya telah dilakukan tidak lama setelah penetapannya. Namun, ternyata baru kali ini (tahun 2016), yakni satu setengah dasawarsa kemudian, diselenggarakan disosialisasi. Tak apalah, daripada tidak sama sekali. Demi memahamkan terhadap khalayak, walau telah lewat waktu, ada baiknya sosialisasi itu dilakukan sekarang. Barangkali beberapa waktu lalu sejarah dipandang kurang urgen, sehingga pemahaman dan pemaknaan terhadap sejarah daerah hanya ‘dinomorsekiankan’ ketimbang hal hal lain.

Hanya dinomorsekiankan, lantaran muncul ‘anggapan salah’ bahwa Hari Jadi Daerah sekedar seremoni tahunan. Yang jika tidak dilakukan dirasa ganjil, sebab daerah-daerah lain memiliki serta memeriahkan Hari Jadi Kota/Kabupaten-nya masing-masing – terdapat juga Hari Jadi Propinsi. Sesungguhnya, keganjilannya bukan karena tidak melakukan sebagaimana dilakukan oleh daerah-daerah lain, namun dikatakan ‘ganjil’ sebab yang beranggapan demikian berarti tidak memahami makna dan urgensi Hari Jadi. Seremoni yang disertai dengan rangkaian perayaan hanyalah ‘kulit luar’. Adapun ‘roh’nya adalah wahana pengingat bahwa di balik momentum historis yang dijadikan sebagai petanda hari jadi bagi suatu daerah. Dengan pemikiran, terdapat ‘teladan bijak’ mengenai hal penting dalam konteks kedaerahan di dalam peristiwa itu, yang untuk konteks kekinian dapat dimanfaatkan sebagai ‘spirit’ bagi masyarakat bersangkutan untuk melakukan ikhtiar serupa atau lebih baik lagi daripada upaya luhur yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya.

Prasasti Lawadan sebagai ‘Petanda Hari Jadi Daerah Tulungagung’ memang bukan sumberdata tekstual-epigrafis tertua di wilayah Tulungagung. Bukan pula memuat peristiwa historis yang berskala luas (regional atau nasional). Bukan penanggalan bagi lahirnya sistem pemerintahan berbentuk kabupaten. Bahkan, nama ‘Tulungagung’ tak dijumpai di dalamnya. Prasasti tertua, peristiwa besar, dan menyebut toponimi serupa dengan nama daerah sekarang bukanlah prasyarat mutlak untuk menjadikan suatu sumber data tekstual (yang berupa prasasti, susastra ataupun arsip) sebagai petanda bagi Hari Jadi Daerah. Yang lebih penting daripada itu adalah: (1) teladan penting apakah yang terkandung di dalam peristiwa sejarah tersebut dalam kaitan dengan (a) perubahan (changes) signifikan pada daerahnya di satu sisi, dan sebaliknya (b) kesinambungan (continuity)-nya dengan sosio-budaya pada masa sebelum atau sesudahnya di sisi lain, (2) karakter lokal yang tersurat atau tersirat di dalamnya, serta (3) kandungan spirit yang relevan untuk ditransformasikan oleh daerah bersangkutan bagi kehidupan masa kini ataupun mendatang.

Teladan sejarah yang terkandung dalam Prasasti Lawadan berkenaan dengan budaya- lingkungan (eko-kultural), yakni adaptasi terhadap lingkungan fisis-alamiah di Tulungagung, khususnya pada sub-area selatan Tulungagung, yang berciri khusus (karakter-ekologis) rawa-rawa purba. Dengan sikap serta perilaku demikian, meski areal huniannya kurang layak huni, namun mampu menciptakan sistem sosial-budaya tepatguna, sehingga dapat mengembangkan kehidupan yang menyejahterakan dan kontributif bagi pihak lain. Spirit adaptatif-ekologis itu antara lain ditandai oleh upaya untuk meminimalkan dampak negatif bahkan destruktif banjir tahunan di areal rawa-rawa, yang pada masa sesudahnya mengalami penguatan dalam bentuk pengeringan rawa-rawa purba dengan menerapkan pengetahuan dan teknologi ‘drainase besar’, sehingga semenjak medio tahun 1980 daerah Tulungagung yang semula merupakan ‘langganan banjir tahunan’ terbebas dari petaka ekologis yang menyengsarakan itu. Teladan di dalam momentum historis itulah yang semestinya secara periodik (tiap tahun) diingatkan kepada warga, sehingga makna dan spriritnya dapat ditransformasikan untuk membijaki kehidupan masa kini dan mendatang. Oleh karena itu, Hari Jadi bukan semata ‘dirayakan’ dengan aneka kemeriahan, namun penting pula untuk ‘diperingati’ dan dijadikan ‘wahana reflektif’ yang membijakkan.

B. Gambaran Umum Prasasti Lawadan
1. Problematika Lokasi Asal Prasasti Lawadan

Prasasti Lawadan adalah linggoprasasti, yang menurut laporan R.D.M. Verbeek (1819: 263) berada di Desa Wates, afdeeling Toeloeng-agoeng. Sayang sekali, Verbeek tak menyebut pada district mana Desa Wates dimaksud. Padahal, di daerah Tulungagung setidaknya terdapat tiga desa/dusun bernama ‘Wates’, yaitu: (1) Desa Wates di Kecamatan Kalidawir, (2) Dusun Wates di Kecamatan Campur Darat, yang lengkapnya disebut ‘Wates Kulon’, dan (3) Dusun Wates di Kecamatan Besuki, yang lengkapnya disebut ‘Wates Kroyo’. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menetapkan dimana lokasi tepat asal prasasti tersebut dengan memilih satu diantara tiga desa/dusun tersebut. Kesulitan lainnya adalah hingga akhir tahun 1980-an, pada ketiga tempat itu telah tidak didapati adanya prasasti. Kesulitan kian bertambah sebab di Tulungagung terdapat sejumlah prasasti yang tak diketahui dengan pasti lokasi asalnya, seperti beberapa buah prasasti Koleksi Museum Wajakensis.

Pada tahun 2001, yaitu ketika survei guna melacak data bagi pencarian Hari Jadi Daerah Tulungagung, terdapat sebuah prasasti batu yang kala itu berada di dalam gedung bagian belakang PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung (IMIT ) di Besole. Menurut informasi Ema Kusnadi (mantan Penilik Kebudayaan Tulungagung), pada akhir tahun 1980an prasasti ini pernah ditinjau oleh epigraf senior M.M. Soekarto K. Atmodjo dari Balai Arkeologi Yogyakarta. Keterangan yang didapat dari staf Pabrik Marmer kala itu, asal prasasti dari Desa Kebo Ireng Kecamatan Besuki – bukan dari Wates Kroya. Oleh sebab itu alternatif untuk mengalternasikan di Dusun Wates Kroya menjadi tidak diperhitungkan, sehingga tinggal dua pilihan, yaitu Dusun Wates Kulon di Kec. Campur Darat dan di Desa Wates di Kec. Kalidawir.

Pelokasian di Wates Kulon sulit untuk dapat diterima, karena menurut warga setempat, pada pra 1986, Wates Kulon berada dalam genangan rawa sepanjang tahun (Tim Penelusuran Hari Jadi Tulungagung, 2002: 39, catatan no. 4). Selain itu tidak didapati peninggalan arkeologis lainnya di Wates Kulon. Hal serupa terjadi di Desa Wates Kecamatan Kalidawir, yang juga tidak diperoleh jejak arkeologis. Selain itu, beberapa desa-desa yang diberitakan berbatasan dengan Thani Lawadan (wanua tpi siring) tidak terletak di daerah Kalidawir dan sekitarnya, alih-alih justru berada di wilayah Kec. Boyolangu, Kec, Kota Tulungagung hingga Kec. Durenan.

Tim Penelusuran Hari Jadi Daerah Tulungagung tidak pernah melokasikan secara pasti desa/dusun asal Prasasti Lawadan. Oleh kerena itu terkait dengan Prasasti Lawadan, pada Tabel 1 ‘Sumber Data Epigrafis di Kawasan Tulungagung’ nomor urut 24, lajur ‘keterangan’ dituliskan ‘tidak jelas, apakah Desa Wates Kec. Kalidawir atau Kec. Campur Darat. Sementara pada nomor urut 26 disebut adanya ‘Prasasti Wates Kroyo’ yang berasal dari abad XII M., dikeluar-kan oleh Raja Sarweswara/Srengga. Nantinya didapati kejelasan bahwa yang dimaksud dengan Prasasti Wates Kroyo (no. urut 26) sama dengan Prasasti Lawadan (no. urut 24). Dalam kekurangjelasan tentang muasal dari Prasasti Lawadan tersebut, Tim Penelusuran Hari Jadi Daerah Tulungagung (2002:39, catatan no. 7 – dalam makalah salah tulis dengan no. 5) hanya dinyatakan ‘…0.. Terlepas dari pada Desa Wates di kecamatan mana Desa Wates dimaksud, yang pasti bahwa ketiganya terletak di kawasan Tulungagung Selatan’.

Aksara pada prasasti tersebut kala itu sulit dibaca, lantaran terbalut butiran-butiran batu marmer bercampur air, sisa penggergajian mesin batu marmer, sebab didirikan diatas pedestal tinggi sehingga sulit untuk dicermati aksaranya dari jarak dekat dan lokasi penempatannya dekat dengan tempat penggergajian batu marmer – kini direlokasi ke luar gedung penggergajian, yakni di halaman pabrik dan dinaungi bangunan cungkup. Oleh karena itu, hingga tahun 2001, belum bisa diidentifikasikan bahwa prasast ini adalah prasasti Lawadan. Demikian pula, dalam ‘Laporan Penelitian Epigrafis di Kabupaten Blitar dan Tulungagung’ oleh Pusat Arkeologi Nasional (1998), juga tidak ada hasil identifikasi yang menyatakan bahwa prasasti di areal Pabrik Marmer adalah Prasasti Lawadan. Alih-alih Prasasti Lawadan diprakirakan adalah salah sebuah diantara beberapa prasasti batu yang berada di teras Museum Boyolangu – sebutan Museum Wajakensis kala itu.

Isi dan lokasi asal Prasasti Lawadan barulah jelas ketika Mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia bernama Ahmad Komaruzaman menelaah dalam skripsinya yang berjudul ‘Prasasti Lawadan 1127 Saka: Suatu Kajian Ulang’ (2005). Memungkinkan baginya untuk mencermati isi prasasti, karena ketika dilakukan penelitian (2004), prasasti ini telah direlokasikan ke halaman pabrik dan butiran-butiran batu marmer yang semula membalut permukaan batu prasasti dibersihkan. Terbaca jelas bahwa desa (thani) yang ditetapkan sebagai perdikan (sima atau swatantra) dalam prasasti ini adalah Prasasti Lawadan. Diidentifikasikan dengan pasti bahwa inilah yang dimaksud dengan Prasasti Lawadan. Diperoleh pula kepastian bahwa lokasi asalnya Dusun Wates Kroyo – tak seperti informasi staf PT IMIT tersebut diatas bahwa asalnya dari Desa Kebo Ireng.

Penulis juga melakukan lacakan ke Dusun Wates Kroya. Diperoleh informasi dari warga setempat bahwa semula (pra-1967) pada bentang lahan timur aliran sungai kecil dan selatan jalan desa terdapat sebuah prasasti batu, yang konon ditempatkan di suatu teras yang tersusun dari bata-bata kuno di bawah naungan cungkup beratap ijuk. Sebagaimana menimpai banyak situs-situs lain, Pasca G30 PKI, khususnya jelang come back PKI 1967, situs Prasasti Lawadan mendapat pengrusakan. Selain prasasti, di dalam cungkup terdapat ‘batu kala’ — warga sekitar menamai ‘watu Buto’. Prasasti yang semula dalam posisi berdiri dirobohkan dan bata-bata kuno pembentuk bangunan berteras dan serakannya dijadikan sebagai penguruk jalan dan pondasi bangunan lain. Beruntunglah, sekitar tahun 1970 sejumlah perangkat desa dan pekerja PT IMIT memindahkan prasasti itu ke dalam pabrik. Pada saat ini di situs masih tersisa fragmen kepala kala dan bata-bata kuno.

2. Fisiografis dan Penanggalan Prasasti Lawadan

Prasasti Lawadan terbuat dari bahan batu kali (andesit) yang dipangkas melempeng (Panjang = 121 cm, Lebar bagian atas = 91 cm dan bawah 78 cm, tebal = 30 cm). Bentuk sisi atas kurawal (akulade). Pada sisi depan atas terdapat lancana berbentuk bulat, yang dibubuhi dengan nama raja yang mengeluarkan prasasti ini, yaitu ‘Kretajaya’. Aksara dipahatkan pada sisi depan (recto), sisi belakang (verso) dan sisi kanan-kiri. Menilik panjangnya tulisan dan kelengkapan informasi di dalamnya, prasasti ini termasuk dalam kategori ‘prasasti panjang (long inscription)’ sekaligus ‘prasasti lengkap’. Lepeng batu prasasti berdiri di atas singgasana berbentuk teratai merah merekah (padmasana). Menggunakan aksara Jawa abad ke-12 M. dan bahasa Jawa Kuna.

Nama raja yang memerintahkan untuk menuliskan prasasti Lawadam juga disuratkan dalam baris ke-2 dan ke-3 sisi depan (recto), yaitu Paduka Sri Maharaja Sri ….. Srengga …… Digjayatunggadewanama (Brandes, OJO LXVII, 1913:183). Kata-kata yang tidak terbaca karena aus itu kiranya adalah apa yang di dalam Prasasti Kamulan (1116 Saka = 31 Agustus 1194 M) bertuliskan ‘Srisarweswara’ dan ‘Srenggalancana’, yakni unsur nama gelar (abhisekanama) dari Kretajaya. Disamping nama ‘Srengga’, raja ini dalam sisi recto baris ke-22 dan verso baris ke-7 disebut dengan nama lain ‘Kretajaya’. Raja inilah yang dalam susastra gancaran Pararaton diberi nama ‘Dandang Gendis’. Raja Srengga alias Kretajaya alias Dandang Gendis memerintah di Kerajaan Kadiri (Pangjalu) antara tahun 1194-1222 Masehi. Berarti merupakan raja terakhir di kerajaan Pangjalu (Kadiri).

Unsur Penanggalan Prasasti Lawadan terbilang lengkap, yaitu pada hari Jumat (Sukra), hari Pahing, tanggal ke-6 (sasthi) paro terang (suklapaksa) bulan Nopember (Marggasirsamasa), Angka tahun yang masih terbaca tidak lengkap, karena ada satu digit aksara yang telah aus, yang jika lengkap adalah tahun Saka 1127. L.C. Damais (1955:50) mengkonversikan ke dalam tarikh Masehi menjadi 18 Nopember 1205. Apabila menilik tahunnya, yaitu 1205 M, Prasasti Lawadan adalah prasasti pada penghujung pemerintahan raja Kretajaya/Srengga selain prasasti Biri (1222 M). Angka tahun Prasasti Lawadan hanya terpaut satu tahun dari Prasasti Sumber Ringin Kidul di Kec. Ngunut, yang bertarikh Saka 1125 (4 April 1204),

Apabila menilik sebaran prasasti-prasasti dari raja Srengga, tergambar bahwa sebagian besar prasasti-prasastinya berada di daerah Tulungagung, seperti (a) Prasasti Galunggung atau Panjerejo (1200 atau 1201 M.), (b) Prasasti Sumberingin Kidul (1204 M.), (c) Prasasti Lawadan (1205 M), dan (d) Prasasti Biri (1222 M.) – diperkirakan terletak di Kalangbret, dimana terjadi perubahan konsonan ‘B’ menjadi ‘W’, yaitu dari ‘Biri’ menjadi ‘Wiri’, seperti tergambar pada toponimi ‘Cu+Wiri (Cuwiri)’. Selain itu, di Museum Wajakensis terdapat dua buah prasasti batu dari abad XII M. Demikian pula, dijumpai Prasasti Sawahan dan Prasasti Punden Gedong (lereng tenggara G. Wilis), yang juga berasal dari Masa Kadiri – kurang jelas detail tahunnya, apakah dari masa pemerintahan Raja Srengga atau dari masa sebelumnya.

Berdekatan dengan daerah Tulungagung, terdapat Prasasti Kamulan (1194 M.) di Kec. Durenan Kab. Tenggalek dan Prasasti Patapan (1198 M.) di Kec. Srengat Kab. Blitar. Sebagai suatu daerah yang tetangga Kediri, dapat difahami bila terdapat prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Kerajaan Pangjalu (Kadiri) yang berada di Tulungagung. Selain prasasti-prasasti yang berasal dari Raja Srengga/Kretajaya tersebut, terdapat pula prasasti-prasasti dari kerajaan Pangjalu yang lebih tua, seperti Prasasti Candi Tuban (1129 M.), Prasasti Tapan (1134 M.), Prasasti Pandlegan II (1159 M.), dan Prasasti Wajak Lor (1160 M.).

3. Pelokasian Desa-Desa se-Wisaya dengan Lawadan

Pokok isi Prasasti Lawadan adalah anugerah raja Srengga terhadap duwan ri Lawadan tkeng wisaya. Berupa pembebasan dari setoran pajak ke Pemerintahan Pusat dan sejumlah hak istimewa terhadapanya. Yang dimaksud dengan ‘duwan’ adalah bagian dari desa (Zoetmulder, 1995:241). Adapun ‘wisaya’ adalah himpunan dari sejumlah desa. Nampaknya, anugerah status perdikan (sima) ini diberikan kepada pejabat di suatu anak thani (bagian dari suatu desa) di wilayah Thani (Desa) Lawadan. Konsep ‘wisayapumpunan’, menurut Edi Sedyawati (1994: 273) bermula pada Masa Kadiri. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa raja-raja Kadiri memusatkan perhatiannya terhadap pemantapan tata wilayah di dalam negari, dengan memberikan penghargaan yang besar kepada para pemimpin daerah di tingkat wisaya maupun thani.

Selain terhadapnya status perdikan juga dianugerahkan kepada pimpinan di desa-desa lain yang sehimpunan (se-wisaya) dengan thani Lawadan, seperti thani: (1) Pamwatan – kata ‘wwat’ berarti jembatan, sehingga daerah ini dapat ditafsirkan berada di ‘Desa Treteg’ sekarang, sebab wwat = treteg = jembatan; (2) Jjang, mengingatkan kita dengan unsur nama dari suatu desa pada DAS Kali Ngrowo, yaitu ‘Ngu+Jang (Ngujang)’; (3) Wanwa Tengah, yang beralasan dilokasikan di Desa Karang Tengah Kec. Durenan, sebab kata ‘karang’ yang berarti: tempat permukiman, bersinonim arti dengan ‘wanwa (desa)’; (4) Tanggul, yang dapat dilokasikan di wilayah Kec. Besuki, padamana terdapat desa/dusun dengan unsur nama ‘tanggul’, seperti Tanggul Turus dan Tanggul Welahan, (5) Herasih, (6) Kunda, mungkin kini menjadi Desa Kendal di Kec. Pakel, (7) Glang, dan (8) Turun Asih.

Ditambah dengan Thani Lawadan, wisaya tersebut terdiri atas sembilan thani, yang menggambarkan formula ‘(2 x 4) + 1’. Kiranya keberadaan Thani Lawadan adalah pada posisi tengah, yang dikelilingi oleh thani-thani lainnya pada penjuru mata angin. Menurut pelokasian tersebut, desa-desa tetangga Lawadan berada di wilayah Kec. Besuki, Kec. Pakel, Kec. Kota Tuungagung, Kec. Kedungwaru maupun Kec. Durenan. Yang menarik untuk dicermati, letaknya di sekitar Rawa-Rawa Purba pada sub-area Selatan Tulungagung dan DAS Kali Ngrowo. Dengan demikian, konteks ekologis yang khas dari thani Lawadan dan thani-thani lain disekitanya adalah ekologi rawa.

4. Tafsir Eksplanatif Sambanda Penetapan Thani Lawadan sebagai Sima

Sayang sekali tak diperoleh gambaran yang gamblang mengenai alasan (sambanda) mengapa desa Lawadan dan thani-nanik lain yang se-wiasaya dengan itu ditetapkan sebagai sima. Pada umumnya, dasar pertimbangan penetapannya adalah jasa dari warga desa bersangkutan terhadap pihak kerajaan. Berdasarkan paparan mengenai sebaran prasasti-prasasti raja Srengga di atas, tergambar bahwa pada masa pemerintahannya terdapat sejumlah tempat dalam wilayah Tulungagung yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Srengga. Oleh karena itu cukup alasan untuk memprakirakan bahwa alasan penetapan sima Lawadan berkenaan dengan jasa warganya terhadap Raja Srengga.

Pada masa akhir pemerimtahan Srengga situasi politik Kerajaan Kadiri dalam kondisi krusial, yakni ancaman bagi terjadinya pemberontakan-pemberontakan daerah. Hal inilah yang mendorong Srengga untuk mencari dan mendapatkan pengaruh politik dari daerah-daerah terdekat, utama dari warga di daerah Tulungagung, Blitar dan Trenggalek. Salah satu bentuk upaya untuk mendapat dukungankan darinya adalah melalui pemberian anugerah (waranugraha) berupa status sima dan hak-hak istimewa kepada para elit di sejumlah desa di kawasan rawa rawa purba, yang berada di sebelah selatan kadatwan Kadiri.

Gambaran tentang adanya ancaman pemberontakan tersebut didapati dalam Prasasti Kamulan (1194 M.), yang memberitakan tentang kesetian para samya haji katanda sakapat, sebagaimana layaknya sikap para hamba raja. Mereka berhasil mengembalikan raja ke singgasana di Bhumi Kadiri, setelah sebelumnya terpaksa meninggalkan istananya di Katang-Katang lantaran serangan musuh dari sebelajh timur (Soemadio, 1984:273). Mengingat bahwa lokasi Lawadan, yakni sekitar Wates Kroyo sekarang yang tidak terlampau jauh dari Kamulan di Kec. Durenan, maka boleh jadi dalam konteks ini warga Desa Lawadan turut berjasa dalam upaya menghadapi serangan musuh tersebut, sehingga raja Srengga yang terpaksa eksodus tinggalkan istana dapat dikembalikan ke singgasananya.

C. Pertimbangan Prasasti Lawadan sebagai Petanda Hari Jadi Tulungagung
1. Prasasti sebagai Sumber Data Utama Pelacakan Hari Jadi

Hari jadi adalah ‘petanda sejarah (historical sign)’. Oleh karena itu, sumber pencarian bagi petanda tersebut utamanya adalah sumber data tertulis (tekstual), dengan sumber-sumber data lain (artefaktual, ekofaktual maupun oral) sebagai sumber data pembanding dan pelengkap. Terdapat beragam bentuk sumber data tekstual masa lampau, antara lain (a) prasasti, (b) susastra, (c) arsip, (d) berita asing (catatan perjalanan, laporan kunjungan utusan yang ditulis secara kronikal, dsb), serta (e) banyak bentuk lainnya. Diantara sumber-sumber data tekstual itu, prasasti atau sumber data epigrafis lah yang layak dijadikan sumber info untuk mencari dan menemukan alternasi hari jadi karena beberapa pertimbangan: (1) sumber data sejaman; (2) maklumat resmi (charter); (3) disertai anasir penanggalan lengkap – khususnya kategori ‘prasasti panjang (long inscription)’, yaitu tanggal, bulan, tahun, hari (wara), wuku, perbintangan (naksatra), rasi, dsb., sehingga bisa dijadikan sebagai petanda waktu bagi hari jadi; (4) membicarakan peristiwa penting yang diabadikan, dan keterangan yang cukup rinci seputar peristiwa tersebut; (5) dapat dilacak lokasi, bentuk peninggalan budaya maupun lingkungan yang dibicarakannya, (6) prasasti merupakan sumber tertulis sebagai data utama yang bernilai tinggi (primary element), sehingga mempunyai peranan penting bagi penulisan sejarah kuna.

Lacakan terhadap Hari Jadi Daerah Tulungagung menggunakan jenis sumber data tekstual dalam bentuk prasasti. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa terdapat tidak sedikit (sekitar 63 buah) prasasti dan petunjuk angka tahun (kronogram). Diantaranya adalah kategori prasasti panjang, baik terbuat dari batu (linggoprasasti) ataupun tembaga (tamraprasasti), yang memiliki anasir penanggalan lengkap, cukup jelas peristiwa yang dibicarakan dan bahkan dapat dilacak kolasi asal, tinggalan budaya yang diberitakan maupun lingkungan sekitarnya. Sebaran dalam waktunya antara Masa Pemerintahah Balitung di Kerajaan Mataram hingga Masa Akhir Majapahit. Sebuah diantaranya adalah Prasasti Lawadan (1127 Saka = 18 Nopember 1202 M.), yang usulkan, dipilih dan ditetapkan sebagai petanda Hari Jadi Daerah Tulungagung – diantara tiga alterternasi selain Prasasti Mula-Malurung (1177 Saka = 15 Desember 1255 M) dan prasasti Sarwadharmma (1191 Saka = 31 Oktober 1269 M.).

2. Butir-Butir Pertimbangan

Sebagaimana terpapar diatas, prasasti Lawadan menginformasikan pemberian status sima atau swatantra kepada dawn di desa Lawadan, yang yang beisi pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan penerimaan berbagai hak istimewa. Boleh jadi duwan di thani Lawadan memperoleh anugerah itu berkat prestasi dan jasa terhadap pemerintahan Kerajaan Kediri. Penanggalan Prasasti Lawadan (18 Nopember 1202 M.) beserta peristiwa yang terkandung di dalamnya jadikan pertimbangan dalam penetapan Hari Jadi Daerah Tulungagung didasari oleh pertimbangan bahwa ini memuat informasi situasi sosial-budaya yang teratur di kawasan rawa-rawa purba di sub-area Selatan Tulungagung dan sekitarnya.

Gambaran mengenai keteraturan sosial-budaya di kawasan Rawa-Rawa Purba dan DAS Kali Ngewo tercermin pada ‘wisaya [pumpunan]’, dimana thani Lawadan beserta thani-thani lain disekitarnya, yaitu Panwatan, Jjang, Wanwatngah, Tanggul, Herasih, Kunda, Glang dan Turunansih (OJO LXXVII recto baris ke-4) ditetapkan sebagai sima-thani. Demikianlah, thani Lawadan yang termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri kala itu telah menjadi desa dengan sistem sosial-budaya yang teratur. Lokasi Lawadan yang di sekitar Wates Kroyo Kec. Besuki. Lokasinya di sekitar Rawa-rawa Purba menarik dicermati, mengingat bahwa kawasan ini merupakan tempat ditemukannya jejak-jejak kehidupan Prasejarah. Oleh karena itu, cukup alasan untuk menyatakan bahwa menyatakan bahwa masyarakat Lawadan merupakan penerus kehidupan yang sudah berlangsung di areal Peg. Kapur (Kendeng) Selatan Tulungagung sejak Masa berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana hingga Masa Perundagian.

Pendapat ini didasarkan pada penemuan fosil manusia dan binatang purba beserta perangkat hidupnya, goa hunian (rock shelter), menhir, sarkofagus (wadah kubur) serta perangkat ritus megalitikdi sekitar Peg. Kapur Selatan Tulungagung. Pada tahun 1889-1890 ditemukan fosil manusia purba jenis Homo sapiens yang kemudian dikenal dengan “Homo wajakensis”. Kepurbaan manusia ini diperkirakan 40.000 tahun yang lampau dengan corak sosio-ekonomik berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana serta sosio-budaya tradisi paleolitik. Berdasarkan laporan Hary Truman Simanjutak (1984:1-2) didaerah Besole Kecamatan Besuki dan Jenglungharjo Kec. Tanggunggunung ditemukan jejak-jejak masyarakat mesolitik, berupa goa hunian beserta sisa-sisa sampah dapur. Pada Kec. Sanggrahan Kecamatan Besuki ditemukan jejak-jejak kehidupan masyarakat neolitik, antara lain berupa sepasang menhir, dan di situs Kalibatur Kec. Besuki pada th. 1978 ditemuka jejak-jejak kehidupan yang lebih maju, yakni perundagian yang berupa punden berundak serta sarkofagus.

Berikut disarikan butir-butir pertimbangan untuk menjadikan tanggal 18 Nopember 1205 Masehi beserta pokok-pokok peristiwa yang diberikan dalam Prasasti Lawadan sebagai pilihan yang beralasan bagi tetanda Hari Jadi Daerah Tulungagung.

a. Kendati dalam Prasasti Lawadan terdapat beberapa aksara yang tidak terbaca – lantaran aksaranya aus (OJO LXXVII recto baris 1-2 dan Damais 1955:50) termasuk juga angka tahunnya, namun masih terdapat anasir pertanggalan yang dijadikan bahan penentuan tarikh. Anasir penanggalan tersebut berupa: (1) tanggal dalam paroh bulan, (2) hari dalam saptawara (3) hari dalam pancawara dan (4) bulan. Selain itu terbaca juga mengenai karana, mandala, dan rasinya. Atas dasar anasir penanggalan yang jelas terbaca itu, dengan metode ‘konversi tarikh dari Saka ke Masehi’ yang teruji akurasinya, L.C. Damais (1955:50) berhasil
menetapkan konversi penanggalan lengkap dalam tarikh Masehi dari Prasasti Lawadan, yang jatuh pada tanggal 18 Nopember 1205. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Prasasti Lawadan masih memenuhi katagori sebagai mengandung anasir pertanggalan yang lengkap untuk kepentingan konversi tarikh dengan hasil yang dapat meyakinkan khalayak.

Memang, Prasasti Lawadan bukan Prasasti Tertua yang ditemukan di Tulungagung. Oleh karena masih terdapat Prasasti Penampihan I (898 M). Tanjung Kalang (927 M), Tanjung Lor (935 M), Koejang Manis (937 M), Candi Tuban (1129 M), Tapan (1160 M), Pandeglang II (1159 M), Wajak Lor (1160 M), Kemulan (1194 M), Galunggung (1200 M), dan Sumberingin Kidul (1204 M) yang usianya lebih tua dari Prasasti Lawadan 1205 M. Namun demikian, aksara dalam prasasti-prasasti batu itu amat aus, bahkan nyaris tidak terbaca. Kalaupun ada beberapa yang masih terbaca, namun pokok-pokok isinya sukar dipahami secara utuh. Sementara beberapa prasasti yang tulisannya terbaca relatif lengkap, seperti prasasti Kemulan, kini masuk dalam wilayah administratif Kab. Trenggalek dan telah dijadikan petanda Hari Jadi kabupaten itu. Yang amat menyayangkan adalah prasasti Penampihan I (898 M), yang padahal merupakan prasasti tertua di Tulungagung. Aksaranya telah amat aus, dan menurut Boechari (dalam SNI II, 1984:136 cat.139) isinya kurang dapat dipercaya karena mungkin pemalsuan.

b. Desa (thani) Lawadan dilokasikan di sekitar Wates Kroyo. Bersama dengan delapan thani lain dalam satu visaya, arealnya membentang ke timur selatan hingga sekitar Desa Popoh (dulu: papah) dan Tanggul (kini: Tanggul Turus dan Tanggul Welahan) di Kec. Besuki. Kawasan ini berada di rawa purba bekas laut dangkal (Rawa Gesikan dan Rawa Bening) pada lereng barat Peg. Kapur Selatan Tulungagung. Dalam lintas masa, sejak Masa Berburu dan Mengumpul Makanan tingkat sederhana zaman Prasejarah hingga Masa Hindu-Buddha, kawasan ini dijadikan sebagai panggung sejarah bagi keberlangsungan kegiatan sosial-budaya.

Dengan demikian terjadi kesinambungan sejarah dalam kurun waktu yang begitu panjang. Bahkan, sebelum pusat Pemerintahan Kab. Ngrowo direlokasi ke Kalangbret pada tahun 1709 M, Sultan Agung menempatkan Suromartani sebagai Tumenggug di Wajak sekitar tahun 1615M (Tim Peneliti SDBT 1971:56,59). Dengan demikian, antara tahun 1615-1709 M, Wajak yang wilayahnya meliputi apa yang ada pada masa Kadiri bernama thani Lawadan dan thani-thani lain yang se wisaya dengannya. Berarti, daerah Tulungagung selatan pun pernah tampil sebagai pusat pemerintahan sebelum Kalangbret menjadi pusat Kabupaten Ngrowo.

c. Kawasan tersebut berada di tepian rawa-rawa pedalaman bekas laut dangkal pada lereng Peg. Kapur Selatan Tulungagung, yang kondisi fisis-ilmiahnya menyodorkan tantangan yang besar kepada pemukiman di kawasan ini. Kendati demikian, Lawadan dan thani-thani lain se-wisaya dengannya pada tepian atau sekitar kawasan rawa tersebut terbukti mampu memberikan tanggapan secara aktif terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan sikap, strategi dan tindakan adaptifnya, mereka mampu memenuhi kebutuhan bagi pemerintahan (kerajaan) Kadiri. Tindakan dan prestasinya dalam berinteraksi berinteraksi terhadap lingkungan sekitar menimbulkan rasa bangga, baik oleh pelaku sejarah bersangkutan ataupun generasi keturunan terhadap para pendahulu.

d. Kendati Prasasti Lawadan (1127 S) tidak menyebut perihal alasan (sambadha) mengapa raja Srngga/Krtajaya memberikan anugerah kepada duwan di Lawadan sampai ke (tkeng) wisaya, berupa pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan hak-hak istimewa, namun jika dibanding dengan sambadha prasasti-prasastidari masa Kadiri lainnya, khususnya Prasasti Kamulan (1116 S) yang sezaman dan berdekatan tempat penemuannya, maka bisa diinterpretasikan bahwa sambadha Prasasti Lawadan berkenan dengan kesetiaan duwan di Lawadan ketika terjadi serangan musuh Dhaha dari arah Timur, yang sempat mendongkel raja Srengga dari istananya di Katang-Katang. Peristiwa ini mengandung nilai yang memiliki sifat kepahlawanan dan menimbulkan rasa cinta tanah air.

e. Edi Sedyawati (1994:273) berpendapat bahwa raja-raja Kadiri memusatkan perhatian pemantapan wilayah dalam negeri dengan memberikan penghargaan yang besar kepada para pemimpin daerah tingkat wisaya maupun thani. Prasasti Lawadan memuat informasi mengenai 9 thani—termasuk didalamnya thani Lawadan—yang kesemuannya berada dalam suatu kesatuan wilayah yang terdiri atas beberapa thani, yang diistilahkan dengan “wisaya”. Pendapat tersebut dan kesesuaiannya dengan data didalam prasasti Lawadan sebagai sebuah thani yang berada dalam satu wisaya dengan dengan Sembilan thani lain tertata ke dalam suatu sistem sosia-budaya dan pemerintah yang teratur.

PATEMBAYAN CITRALEKHA
Sengkaling, 17 Nopember 2016

Tinggalkan komentar